A. Jilbab
Arti kata jilbab ketika Al Quran diturunkan adalah
kain yang menutup dari atas sampai bawah, tutup kepala, selimut, kain
yang di pakai lapisan yang kedua oleh wanita dan semua pakaian wanita,
ini adalah beberapa arti jilbab seperti yang dikatakan Imam Alusiy dalam
tafsirnya Ruuhul Ma`ani.
Imam Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan; Jilbab berarti kain yang
lebih besar ukurannya dari khimar (kerudung), sedang yang benar
menurutnya jilbab adalah kain yang menutup semua badan.
Dari atas tampaklah jelas kalau jilbab yang dikenal oleh masyarakat
indonesia dengan arti atau bentuk yang sudah berubah dari arti asli
jilbab itu sendiri, dan perubahan yang demikian ini adalah bisa
dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah sebab perjalanan
waktu dari masa Nabi Muhammad Saw sampai sekarang atau disebabkan jarak
antar tempat dan komunitas masyarakat yang berbeda yang tentu mempunyai
peradaban atau kebudayaan berpakaian yangberbeda.
Namun yang lebih penting ketika kita ingin memahami hukum memakai jilbab adalah kita harus memahami kata jilbab yang di maksudkan syara`(agama), Shalat lima kali bisa dikatakan wajib hukumnya kalau diartikan shalat menurut istilah syara`, lain halnya bila shalat diartikan atau dimaksudkan dengan berdoa atau mengayunkan badan seperti arti shalat dari sisi etemologinya.
Allah Swt dalam Al Quran berfirman:
Namun yang lebih penting ketika kita ingin memahami hukum memakai jilbab adalah kita harus memahami kata jilbab yang di maksudkan syara`(agama), Shalat lima kali bisa dikatakan wajib hukumnya kalau diartikan shalat menurut istilah syara`, lain halnya bila shalat diartikan atau dimaksudkan dengan berdoa atau mengayunkan badan seperti arti shalat dari sisi etemologinya.
Allah Swt dalam Al Quran berfirman:
ياايهاالنبى قل لأزواجك وبناتك ونساءالمؤمنين يدنينعليهن من جلابيبهن
ذلك أدني أن يعرفن فلا يؤذين وكان الله غفورارحيما (الأحزاب 59)
Artinya:Wahai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu dan istri-istri orang-orang mukmin: Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka. yang demikian itu supaya
mereka lebih mudah untuk di kenal karena itu mereka tidak di ganggu.Dan
Allah adalah maha pengampun dan penyayang.(Al Ahzab.59).
Ayat di atas turun ketika wanita merdeka (seperti wanita-wanita
sekarang) dan para budak wanita (wanita yang boleh dimiliki dan
diperjual belikan) keluar bersama-sama tanpa ada suatu yang membedakan
antara keduanya, sementara madinah pada masa itu masih banyak
orang-orang fasiq (suka berbuat dosa) yang suka mengganggu wanita-wanita
dan ketika diperingatkan mereka (orang fasiq) itu menjawab kami mengira
mereka (wanita-wanita yang keluar) adalah para budak wanita sehingga
turunlah ayat di atas bertujuan memberi identitas yang lebih kepada
wanita-wanita merdeka itu melalui pakaian jilbab.
Hal ini bukan berarti Islam membolehkan untuk mengganggu budak pada
masa itu, Islam memandang wanita merdeka lebih berhak untuk diberi
penghormatan yang lebih dari para budak dan sekaligus memerintahkan
untuk lebih menutup badan dari penglihatan dan gangguan orang-orang
fasiq sementara budak yang masih sering disibukkan dengan kerja dan
membantu majikannya lebih diberi kebebasan dalam berpakaian.
Ketika wanita anshar (wanita muslimah asli Makkah yang berhijrah ke
Madinah) mendengar ayat ini turun maka dengan cepat dan serempak mereka
kelihatan berjalan tenang seakan burung gagak yang hitam sedang di atas
kepala mereka, yakni tenang -tidak melenggang- dan dari atas kelihatan
hitam dengan jilbab hitam yang dipakainya di atas kepala mereka.
Ayat ini terletak dalam Al Quran setelah larangan menyakiti
orang-orang mukmin yang berarti sangat selaras dengan ayat sesudahnya
(ayat jilbab), sebab berjilbab paling tidak, bisa meminimalisir
pandangan laki-laki kepada wanita yang diharamkan oleh agama, dan sudah
menjadi fitrah manusia, dipandang dengan baik oleh orang lain adalah
lebih menyenangkan hati dan tidak berorentasi pada keburukan, lain
halnya apabila pandangan itu tidak baik maka tentu akan berdampak tidak
baik pula bagi yang dipandang juga yang melihat, nah, kalau sekarang
kita melihat kesebalikannya yaitu ketika para wanita lebih senang untuk
dipandang orang lain ketimbang suaminya sendiri maka itu adalah
kesalahan pada jiwa wanita yang perlu dibenarkan sedini mungkin dan
dibuang jauh jauh terlebih dahulu sebelum seorang wanita berbicara
kewajiban berjilbab.
B. Hijab
Al Quran juga mengungkapkan punutup seorang wanita dengan kata hijab
yang artinya penutup secara umum, Allah Swt dalam surat Al Ahzab ayat 58
memerintah kepada para shahabat Nabi Saw pada waktu mereka meminta
suatu barang kepada istri-istri Nabi Saw untuk memintanya dari balik
hijab (tutup).
…واذاسألتموهن متاعافاسألوهن من وراءحجاب ذلكم اطهرلقلوبكم وقلوبهن…(الأحزاب.58)
Artinya; Dan bila engkau meminta sesuatu (keparluan) kepada mereka
(istri-istri Nabi saw) maka mintalah dari belakang tabir,cara yang
demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka¡Â(Al Ahzab. 58)
Seperti yang di terangkan di atas, hijab lebih luas artinya dari kata
jilbab atau khimar meskipuan ayat di atas adalah turun untuk para
istri-istri Nabi Saw tapi para ulama` sepakat dalam hal ini bahwa semua
wanita muslimah juga termasuk dalam ayat di atas, sehingga yang di ambil
adalah umumnya arti suatu lafad atau kalimat ayat Al Quran, bukan sebab
yang khusus untuk istri-istri Nabi saja.
Ayat di atas memerintahkan pada wanita muslimah untuk mengenakan
penutup yang demikian itu adalah lebih baik untuk dirinya dan laki-laki
lain yang sedang berkepentingan dengannya, adapun cara berhijab di atas
adalah dengan berbagai cara yang bisa menutup aurat dan tidak
bertentangan dengan maksud dari disyariatkannya pakaian penutup bagi
wanita, sehingga kalau memakai pakaian yang sebaliknya bisa merangsang
terjadinya keburukan maka itu bukan dan belum di namakan berhijab atau
bertutup.
C. Khimar (kerudung)
Al Quran juga datang dengan kata lain selain kata jilbab dalam mengutarakan penutup kepala sebagaimana yang termaktub dalam
An Nuur .31
وقل للمؤمنات ييغضضن من أبصارهن ويحفظن فروجهن ولايبدين زينتهن الاماظهرمنهاوليضربن بخمرهن على جيونهن….(النور.31)
وقل للمؤمنات ييغضضن من أبصارهن ويحفظن فروجهن ولايبدين زينتهن الاماظهرمنهاوليضربن بخمرهن على جيونهن….(النور.31)
Artinya: Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang
beriman:Hendaklah mereka menahan pandangannya,dan memelihara
kemaluannya,dan jangan menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa
nampak padanya, dan hendaklan mereka menutupkan kain kudung di dadanya..(An Nuur. 31)
Kata Khumur dalam penggalan ayat di atas bentuk jama`(plural) dari
kata Khimar yang biasa diartikan dalam bahasa indonesia sebagai kerudung
yang tidak lebar dan tidak panjang, sedang kalau kita melihat arti
sebenarnya ketika Al Quran itu datang kepada Nabi Muhammad Saw maka
Mufassirin (ulama ahli tafsir Al Quran) berbeda pendapat dan kita akan
melihat sedikit reduksi atau penyempitan arti dari arti pada waktu itu.
Imam Qurthubi menterjemahkan khumur secara lebih luas, yaitu semua yang
menutupi kepala wanita baik itu panjang atau tidak, begitu juga dengan
Imam Al Alusiy beliau menterjemahkannya dengan kata miqna`ah yang
berarti tutup kepala juga, tanpa menjelaskan bentuknya panjang atau
lebarnya secara kongkrit.
Ayat Al Quran di atas memerintahkan untuk memanjangkan kain penutup
itu ke bagian dada yang di ambil dari kata juyuub (saku-saku baju)
sehingga kalau wanita hanya memakai penutup kepala tanpa memanjangkannya
ke bagian dada maka dia masih belum melaksanakan perintah ayat di atas,
dengan kata lain penutup kepala menurut ayat di atas haruslah panjang
menutupi dada dan sekitarnya, disamping juga ada baju muslimah yang
menutupinya. Namun kalau kita teliti kata juyuub lebih lanjut dan
apabila kita juga melihat sebab ayat itu diturunkan maka kita akan
menemukan beberapa arti ayat (pendapat) yang dikemukakan oleh mufassir
yang berbeda dengan pemahaman di atas.
Kata juyuub dalam ayat di atas juga dibaca jiyuub dalam tujuh bacaan
Al Quran yang mendapat legalitas dari umat Islam dan para Ulama` dulu
dan sekarang (qira`ah sab`ah), kata juyuub adalah bentuk jama`(plural)
dari jaib yang berarti lubang bagian atas dari baju yang menampakkan
leher dan pangkal leher. Imam Alusi menjelaskan kata jaib yang diartikan
dengan lubangan untuk menaruh uang atau sejenisnya (saku baju) adalah
bukan arti yang berlaku dalam pembicaraan orang arab saat Al Quran
turun, sebagaimana Ibnu Taimiyah juga berpendapat yang sama, Imam Alusi
juga menambahkan lagi dan berkata ¡°tetapi kalaupun diartikan dengan
saku juga tidaklah salah¡± dari pembenaran dia bahwa arti jaib adalah
saku tadi, Imam Alusiy artinya setuju kalau penutup kepala jilbab,
kerudung atau yang lain adalah harus sampai menutup dada, meskipun
beliau tidak mengungkapkannya dengan kata-kata yang jelas dan tegas tapi
secara implisit beliau tidak menyalahkan pendapat itu.
Imam Bukhari dalam kitab hadist shohihnya manaruh satu bab yang berjudul
(باب جيب القميص من عندالصدروغيره)
(باب جيب القميص من عندالصدروغيره)
Beliau setuju bila kata jaib diartikan dengan lubangan baju untuk
menyimpan uang atau semisalnya (saku baju) tetapi sebaliknya Ibnu Hajar
dalam Syarah Shahih Bukhariy (buku atau komentar kepada suatu karya
tulis seorang pengarang kitab dengan berupa kesetujuan penjelasan atau
ketidak setujuan atau menjelaskan maksud pengarang kitab aslinya) yang
berjudul Fath Al bari, Ibn Hajar menjelaskan bahwa jaib adalah potongan
dari baju sebagai tempat keluarnya kepala, tangan atau yang lain.dan
banyak ulama` lain yang sependapat dengan Ibnu Hajar, sedangkan Al
Ismaili mengartikan jaib itu dengan lingkaran kera baju.
Pembahasan arti kata jaib ini terasa penting karena letak saku baju
tentu lebih di bawah dari pada kera atau lubangan leher baju,
selanjutnya apakah penutup kepala yang hanya menutupi leher dan pangkal
leher namun belum menutup sampai ke saku baju (yakni bagian dada) apakah
sudah memenuhi perintah Allah Swt dalam ayat Al Quran di atas.
Dari arti jaib yang masih dipertentangkan maka arti kata Juyuub di
ayat tersebut di atas juga masih belum bisa di temukan titik temunya,
saku baju atau lubang kepala.sehingga bila diartikan saku maka menutup
kepala dengan jilbab atau kain kerudung tidak cukup dengan yang pendek
dan atau kecil tetapi harus panjang dan lebar sehingga bisa menutup
tempat saku baju,Dan kalau juyuub dalam ayat di atas di artikan lubang
baju untuk leher maka menutup kepala cukup memakai yang bisa menutup
keseluruan aurat dengan sempurnah tanpa ada cela yang bisa menampakkan
kulit serta tidak harus di panjangkan ke dada.
Namun apabila kita kembali kepada sebab diturunkannya ayat tersebut,
seperti yang disebutkan dalam Lubabun Nuqul karya Imam Suyuti yaitu
ketika Asma` binti Martsad sedang berada di kebun kormanya, pada saat
itu datanglah wanita-wanita masuk tanpa mengenakan penutup (yang
sempurna) sehingga tampaklah kaki, dada, dan ujung rambut panjang
mereka, lalu berkatalah Asma` sungguh buruk sekali pemandangan ini maka
turunlah ayat di atas.
Lebih terang Imam Qurtubi menjelaskan sebab ayat ini diturunkan yaitu
karena wanita-wanita pada masa itu ketika metutup kepala maka mereka
melepaskan dan membiarkan kain penutup kepala itu ke belakang
punggungnya sehingga tidak menutup kepala lagi dan tampaklah leher dan
dua telinga tanpa penutup di atasnya, oleh sebab itulah kemudian Allah
Swt memerintahkan untuk melabuhkan kain jilbab ke dada sehingga leher
dan telinga serta rambut mereka tertutupi, akan tetapi tetapi lebih
lanjut Imam Qurtubi menjelaskan cara memakai tutup kepala, yaitu dengan
menutupkan kain ke jaib (saku atau lubang leher) sehingga dada mereka
juga ikut tertutupi.
Dari kedua sebab turunnya ayat di atas maka tampaknya bisa diambil
kesamaan bahwa ayat di atas turun karena aurat (dalam hal ini leher,
telinga dan rambut) masih belum tertutup dengan kain kerudung, sehingga
turunlah ayat di atas memerintahkan untuk menutupnya, dengan kata lain,
memanjangkan kain kerudung atau jilbab ke jaib (saku atau lubang leher)
itu adalah cara untuk menutup aurat yang diterangkan oleh Al Quran
sesuai dengan keadaan wanita-wanita masa itu, artinya bila aurat sudah
tertutup tanpa harus memanjangkan kain kerudung atau jilbab ke dada maka
perintah memanjangkan itu sudah tidak wajib lagi sebab memanjangkan
adalah cara untuk bertujuan memuntup aurat sedang apabila tujuan yang
berupa menutup aurat itu sudah tercapai tanpa memanjangkan kain itu ke
dada kerana keadaan yang berbeda dan adapt yang tidak sama maka
boleh-boleh saja.
Ringkasnya jaib dengan arti lubang leher adalah tafsiran yang sesuai dengan sabab turunnya ayat di atas, dan memanjangkan kain kerudung atau jilbab ke dada adalah tidak diwajibkan oleh ayat Al Quran di atas, karena yang wajib adalah menutup aurat tanpa ada sedikitpun cela yang menampakkan kulit autar wanita. Wallahu `a`lam bish shawab.
Ringkasnya jaib dengan arti lubang leher adalah tafsiran yang sesuai dengan sabab turunnya ayat di atas, dan memanjangkan kain kerudung atau jilbab ke dada adalah tidak diwajibkan oleh ayat Al Quran di atas, karena yang wajib adalah menutup aurat tanpa ada sedikitpun cela yang menampakkan kulit autar wanita. Wallahu `a`lam bish shawab.
D.Aurat Wanita
Para ulama` berbeda
pendapat tentang aurat wanita yaitu kaki sampai mata kaki, tangan sampai pegelangan dan
wajah dari seorang wanita apakah itu termasuk aurat yang wajib di tutup
atukah tidak(?) Yaitu ketika menafsirkan kata ziinah (perhiasan) bagi
yang mengartikan dengan perhiasan yang khalqiyah (keidahnya tubuh)
seperti kecantikan dan daya tarik seorang wanita, bagi kelompok ini
termasuk Imam Al Qaffal kata الاماظهرمنها (kecuali yang tampak darinya)
diartikan dengan anggota badan yang tampak dalam kebiasaan dan
keseharian masyarakat seperti wajah dan telapak tangan karena menutup
keduanya adalah dlorurat (keterpaksaan) yang bila diwajibkan akan
bertentangan dengan agama Islam yang diturunkan penuh kemudahan bagi
pemeluknya, oleh sebab itu tidak ada perbedaan pendapat dalam hal
bolehnya membuka wajah dan telapak tangan (meski sebenarnya dalam
madzhab syafi`i masih ada yang berbeda pendapat dalam hal ini, misalnya
dalam kitab Azza Zawajir wajah dan telapak tangan wanita merdeka adalah
aurat yang tidak boleh dibuka atau dilihat karena melihatnya bisa
menimbulkan fitnah jinsiyah (godaan seksual), adapun di dalam shalat
maka itu bukan aurat tetapi tetap haram untuk dibuka atau dilihat).
Sedangkan yang menafsirkan kata ziinah (perhiasan) dengan perhiasan
yang biasa di pakai wanita, mulai dari yang wajib dipakai seperti baju,
pakaian bawah yang lain yang digunakan menutup badan waniti sampai
perhiasan yang hanya boleh dipakai wanita seperti pewarna kuku, pewarna
telapak tangan, pewarna kulit, kalung, gelang, anting dan lain-lain,
maka mereka (mufassir) itu mengartikan kata الاماظهرمنها dengan
perhiasan-perhiasan yang biasa tampak seperti cincin, celak mata,
pewarna tangan dan yang tidak mungkin untuk ditutup seperti baju,
pakaian bawah bagian luar dan jilbab atau kerudung.
Dan adapun telapak kaki maka tidak termasuk yang boleh di buka karena
keterpaksaan untuk membukanya dianggap tidak ada, namun yang lebih
shahih (benar) menurut Imam Ar Rozi dalam tafsirnya hukum menampakkan
cincin, gelang, pewarna tangan, kuku, dst adalah seperti hukum membuka
kaki yaitu haram untuk dibuka sebab tidak ada kebutuhan yang memaksa
untuk boleh membukanya menurut agama. Semua hal di atas adalah di luar
waktu melaksanakan shalat dan selain wanita budak (wanita yang bisa
dimiliki dan diperjual belikan) yaitu wanita muslimah zaman sekarang.
Adapun waktu melaksakan shalat, Madzhab Hanafi berpendapat kalau
semua badan wanita adalah aurat dan termasuk di dalamnya adalah rambut
yang memanjang di samping telinga kecuali telapak tangan dan bagian atas
dari telapak kaki. Madzhab Syafi`i berpendapat yang sama yaitu semua
anggota badan wanita ketika shalat adalah aurat yang wajib ditutup
kecuali wajah telapak tangan dan telapak kaki yang dalam (yang putih).
Madzhab Hambali mengecualikan wajah saja selain itu semuanya aurat
termasuk telapak tangan dan kaki.
Sedangkan ulama-ulama madzhab Maliki menjelaskan bahwa dalam shalat
aurat laki-laki, wanita merdeka dan budak, terbagi menjadi dua:
- Aurat mugalladhah (berat), untuk laki-laki aurat ini adalah dua kemaluan depan dan belakang, sedangkan bagi wanita merdeka aurat ini adalah semua badan kecuali tangan, kaki, kepala dada dan sekitarnya (bagian belakangnya)
- Aurat mukhaffafah (ringan), aurat ini untuk laki-laki adalah selain mugalladhah yang berada diantara pusar dan lutut, sedang untuk wanita merdeka adalah tangan, kaki, kepala, dada dan bagian belakangnya, dua lengan tangan, leher, kepala, dari lutut sampai akhir telapak kaki dan adapun wajah dan kedua telapak tangan (luar atau dalam) tidak termasuk aurat wanita dalam shalat baik yang mugalladhah atau yang mukhaffafah. Untuk wanita budak aurat ini adalah sebagaimana laki-laki namun di tambah pantat dan sekitarnya dan kemaluan, vulva dan bagian yang ditumbuhi rambut kemaluan itu.
Ulama-ulama madzhab Maliki juga menjelaskan bahwa apabila seorang
melakukan shalat dengan tidak menutup aurat mugalladhah meskipun hanya
sedikit dan dia mampu menutupnya baik membeli kain penutup atau meminjam
(tidak wajib menerima penutup aurat bila penutup aurat itu diberikan
dengan cara hibah pemberian murni) maka shalat yang demikian hukumnya
adalah tidak sah dan batal dan apabila dia ingat kewajiban untuk menutup
aurat itu maka wajib baginya untuk mengulang shalatnya ketiak dia telah
siap melaksakan shalat dengan menutup aurat mugalladhah itu.
Sedangkan bila aurat mukhaffafah saja yang terbuka semua atau
sebagiannya maka shalatnya tetap sah, tetapi di haramkan atau di
makruhkan bila mampu untuk menutup aurat itu dengan sempurnah dan
apabila telah ada penutup aurat yang sempurnah maka dia di sunnatkan
untuk mengulang shalatnya (ada perincian tetacara pengulangan shalatnya
(lihat madzhibul arba`ah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar